Sebagaimana sudah diketahui bahwa hukum daging babi adalah haram, berdasarkan firman Allah swt ;
Artinya : “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (QS. Al Maidah : 3)
Imam Nawawi mengatakan,”Didalam ayat digunakan lafazh daging dikarenakan
bagian inilah yang paling penting (inti). Para ulama kaum muslimin
telah bersepakat dengan pengharaman lemak, darah dan seluruh bagian
tubuhnya.” (Shahih Muslim bi syarhin Nawawi juz XIII hal 142)
Artinya : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al Maidah :
145)
DR Wahbah memasukkan daging babi kedalam kelompok najis yang
disepakati seluruh madzhab walaupun disembelih sesuai dengan syariat
Islam karena nash Al Qur’an menunjukkan bahwa ia adalah najis ain
(dzatnya). Oleh karena itu daging dan seluruh bagian tubuhnya berupa
bulu, tulang dan kulitnya tetaplah najis walaupun sudah disamak.
Sedangkan menurut ulama Mailiki bahwa daging dari babi yang hidup baik
urat, air mata, ingus maupun air liurnya adalah suci. (al Fiqhul Islami
wa Adillatuhu juz I hal 302)
Diantara alasan lain bahwa najis pada babi adalah najis ain adalah
mereka meng-qiyas-kan babi dengan anjing bahkan keadaan babi
sesungguhnya lebih buruk daripada anjing sehingga tidaklah bisa
dimanfaatkan. Namun alasan ini tidak diterima oleh sebagian ulama
Syafi’i dikarenakan hal itu tidak terjadi pada serangga yang tetap suci
walaupun ia tidak bisa dimanfaatkan.
Ada riwayat dari Abu Hanifah bahwa dia mengatakan najis pada babi
adalah najis ain sehingga diharamkan mengambil manfaat baik dari bulu
maupun bagian-bagian tubuh lainnya namun dia memberikan rukhshoh
(keringanan) pada bulunya yang digunakan untuk benang jahit jika
diperlukan. (Tuhfatul Fuqoha juz I hal 52)
Al Kasani juga menyebutkan riwayat yang sama dari Abu Hanifah bahwa
babi adalah najis ain dikarenakan Allah swt mensifatkannya dengan rijs
(najis). (Bada’ius Shona’i juz I hal 287)
Pendapat para penduduk Madinah—madzhab Maliki—bahwa anjing seluruhnya
najis baik pada air liur maupun dzatnya (ain) sebagaimana babi. (Al
Kafi fi Madzhab Ahlil Madinah)
Al ‘Alamah al Azhim Abadi menyebutkan pendapat Al Khottobi bahwa
hadits Rasulullah saw,”Dan Dia mengharamkan babi serta harga (jual beli)
darinya.” Adalah dalil terhadap rusaknya jual beli kotoran dan segala
sesuatu yang najis dzatnya (ain). (Aunul Ma’bud, juz IX hal 370)
Bagi orang yang mengatakan bahwa najis babi adalah ainiyah (dzatnya)
maka ia tidaklah bisa disucikan dalam keadaan bagaimanapun. Sedangkan
bagi mereka yang mengatakan bahwa ia adalah hukmiyah maka ia bisa
disucikan, seperti kulitnya dengan cara disamak. Wallahu A’lam
Hukum Badan atau Baju Yang Disentuh Orang Yang Makan Daging Babi
1. Sebagian ulama Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa memegang
anjing atau babi atau yang terlahir dari kedua jenis tersebut haruslah
dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah, baik najisnya
itu air liur, kencing, segala yang basah darinya atau bagian-bagiannya
yang sudah kering namun disentuh dalam keadaan basah, sebagaimana sabda
Rasulullah saw,”Sucikan bejana salah seorang diantara kalian apabila
terkena jilatan anjing dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, salah
satunya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”permulaannya dengan tanah.”
Dalam riwayat lain,”.. campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.”
Disini babi disertakan bersama dengan anjing dikarenakan keadaan babi
lebih buruk darinya, berdasarkan firman Allah,”Atau daging babi,
sesungguhnya ia adalah rijs (najis).”
Terdapat sebuah riwayat dari Imam Ahmad yang mengharuskan mencuci
dari najis anjing dan babi dengan delapan kali yang salah satunya dengan
tanah, demikian pula pendapat al Hasan al Bashri, berdasarkan sabda
Rasulullah saw didalam beberapa riwayat,”.. campurkan pada kali
kedelapan dengan tanah.”
Ada sebagian dari para ulama madzhab Syafi’i bahwa babi tidaklah
seperti anjing sehingga mensucikanya cukup dengan sekali cuci tanpa
tanah sebagaimana najis-najis lainnya karena nash yang disebutkan
didalamnya penggunaan tanah hanyalah terhadap anjing saja.
2. Adapun para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat cukuplah mencuci
bejana yang dijilat anjing tanpa menggunakan tanah, alasan mereka bahwa
riwayat-riwayat yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah ada pada
hadits yang mudhtharib (simpang siur), ada yang menggunakan lafazh,”yang
pertama.” Ada dengan lafazh,”salah satunya,” lafazh ketiga,”kali yang
lainnya.” riwayat keempat,”yang ketujuh dengan tanah.” Dan yang
kelima,”dan campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Kesimpang
siuran ini mengharuskannya untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya
penyebutan tanah tidaklah tegas didalam setiap riwayat. (Al Mausu’ah al
Fiqhiyah juz II hal 3910 – 3911)
Jadi apabila anggota tubuh atau baju seseorang dipegang oleh orang
yang terlebih dahulu menyentuh daging babi, baik secara tiba-tiba atau
tidak, bisa ada dua kemungkinan :
1. Apabila tangan orang yang menyentuhnya masih basah atau tampak
bekas-bekas daging babinya maka diharuskan baginya untuk mensucikan
bagian yang tersenuth tadi—tidak perlu mandi—dengan air sebanyak tujuh
kali. Setelah itu dia dibolehkan shalat dengannya.
2. Akan tetapi apabila tangan orang yang menyentuhnya sudah kering
atau tidak ada bekas-bekas daging babi maka ini tidaklah berpengaruh
apa-apa terhadap badan atau pakaiannya dikarenakan suatu najis tidaklah
berpindah kecuali dalam keadaan basah. Dengan demikian ia diperbolehkan
shalat dengan menggunakan pakaiannya tadi.
Wallahu A’lam.
sumber : Ustadz Sigit Pranowo
Selasa, 26 November 2013
Hukum Daging Babi
Diposting oleh bloggerku di 04.35
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar