BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 28 November 2013

ICW: Jangan Biarkan Koruptor Lari dari Uang Pengganti

Indonesia Corruption Watch atau ICW mengharapkan koruptor tidak dibiarkan lari dari uang pengganti.
Dikabulkannya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa kepada Mahkamah Agung soal tidak adanya pidana pengganti bagi terpidana korupsi yang tidak membayar uang pengganti, menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi dalam negeri. Begitulah pendapat Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
"Ini PK oleh jaksa dan kemudian dikabulkan, bisa diikuti di mana ada putusan kasasi yang keliru," jelasnya. Dengan begitu, hal itu pun bisa jadi jurisprudensi pemberantasan korupsi yang tegas guna penyelamatan uang negara dari koruptor yang tidak bisa penuhi kewajibannya.
Sebelumnya, dalam majelis PK yang dipimpin hakim Imron Anwari dengan hakim anggota Andi Samsan Nganro dan Krisna Harahap, MA menerima permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Negeri Padang, Sumatra Barat, terhadap putusan kasasi Nomor 165 K/Pid.Sus/2009.
Dalam perkara itu, terpidana Kurnia Sakerebau, bekas Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar, dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi karena mengorupsi dana pendidikan.
Dia pun dijatuhi pidana lima tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp1,1973 miliar. Anehnya, majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Artidjo Alkostar tidak menjatuhkan pidana pengganti apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar.
”Dalam kondisi demikian, tidak mungkin PK diajukan terpidana atau ahli warisnya karena merugikan posisinya. Dengan demikian, dalam hal ini terbuka peluang bagi yang berkepentingan untuk mengajukan PK, dalam hal ini jaksa,” demikian pertimbangan majelis PK.
Dalam pertimbangannya, majelis PK menyadari bahwa Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun, hal tersebut tidak menutup peluang jaksa untuk PK karena Pasal 263 Ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa apabila suatu putusan menyatakan sebuah perbuatan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan, maka terbuka untuk diajukan PK.
”Pasal tersebut tidak mengatur siapa subyek PK-nya. Dalam perkara ini, meskipun perbuatan terbukti tetapi salah satu amarnya yaitu terkait penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 1,1973 miliar tidak dilengkapi alternatif pidana pengganti jika uang tersebut tidak dibayarkan. Majelis PK memandang adanya kekeliruan yang nyata dalam putusan majelis kasasi tersebut,” terang majelis PK.
Diakui oleh Donal, dalam beberapa perkara korupsi memang kerap ditemukan adanya putusan pidana KPK: Dana Sosial Rawan Dikorupsi penjara dan uang pengganti, namun tidak disertai pidana pengganti jika tidak mampu membayar uang pengganti. "Jadi seolah tidak ada keharusan membayar uang pengganti kalau tidak ada pidana penggantinya," ujar Donal.
Kini dengan adanya peninjauan kembali dan dikabulkan, menunjukkan keseriusan jaksa untuk mengembalikan aset negara yang telah dicuri. Namun Donal menegaskan, bahwa itu baru satu aspek yang masih menunjukkan lemahnya peradilan bagi koruptor. "Banyak keputusan masih cenderung kompromistis," cetusnya.
Sifat kompromistis itu misalnya, bisa terlihat saat kendati ada pidana pengganti jika tidak bisa membayar uang pengganti, hukumannya hanya beberapa bulan saja dan jelas tidak sebanding. "Saat begitu, jelas koruptor lebih memilih dipenjara daripada bayar uang pengganti," kritiknya.
Baginya, sulit juga untuk menakar apakah putusan yang kompromistis itu dilandasi unsur kesengajaan hakim atau karena alasan lainnya. Namun terlepas dari tendensi kesengajaan, jelas diperlukan upaya tegas pemulihan dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi.
"Sepanjang kerugian negara besar dan putusan tidak sebanding, proses hukumnya harus terus dilanjutkan," kata Donal mendorong jaksa tidak ragu mengajukan peninjauan kembali.
Adapun dalam hal pemulihan aset, setidaknya ada tiga masalah yang masih perlu mendapat sorotan. Tiga persoalan itu menurut Donal, adalah tidak disitanya aset-aset koruptor, putusan yang tidak memberlakukan hukuman pengganti, dan jaksa yang belum melakukan penyitaan aset. Karena itu, masih banyak pekerjaan rumah (PR) untuk betul-betul membuat peradilan yang membuat efek jera bagi pelaku korupsi

sumber : METROTVNEWS

0 komentar: